Why are most guitars we encounter in Indonesian music stores fairly cheap ?
On the contrary, why are some guitars amazingly exhorbitant ?
A flawed assumption exists, stating that all guitars are basically the same. Before we discuss about sound, craftsmanship, playability and other technical aspects, let us start with the basics, the systems of guitar production. What are the guitars we usually spot inside Indonesian music stores ?
The explanation lies below :
In the guitar-making world, there are 4 categories/levels, sequenced from the lowest to the highest :
1. Factory-made (Yamaha, Cort, etc.)
At this level, production involves a lot of people and applies an assembly system – similar to Lego. The top of a guitar is built by a certain group, while the neck is built by another, and so on. These parts will later be assembled together, forming the final product.
To keep the production cost low, it is often built using triplex, layered by wood-like stickers. Triplex is without question, an unsuitable material for guitars as it is easily bent and bears poor stiffness, causing the soundboard to be too thick, hence making it harder to vibrate.
This production system focuses on efficiency and mass production speed, as it relies on machinery, producing hundreds of guitars per month. It is quantity-oriented, not quality-oriented. Guitars are never out of stock, able to be purchased without effort at a reasonable price and standard quality for newcomers.
Music stores in Indonesia, unfortunately only supply guitars up to this level, the least, which explains why the majority regards guitar as being a low-class instrument.
Or is it ?
2. Production workshop (Hill guitar company, Ramirez, Bernabe – student series, Contreras, Marin Montero, Sakurai Kohno, Matsuoka, Antonio Picado, Amalio Burguet, Loriente, Alhambra, Asturias, Yamaha – Grand Concert series, etc.)
At this level, a group of skilled craftsman is assembled.
Every individual has a very specific task, for instance, some in charge of the varnish, others in charge of creating the soundbox, etc.
Even though workers may at times jump ship to other sectors as in a soccer team, their creations will in allegedly support one another under the name of the workshop.
This system produces 15-20 guitars every month. If popularity rises, a waiting list of a few months may be formed. If demand further rises, the workshop may recruit new workers to speed up the production (outsourcing), which may apparently create inconsistency (as a result of numerous workers working on a single product).
The quality produced isn’t much of a difference than those of factory-made. However, at this level, the use of wood replaces triplex, at least on the soundboard.
In Indonesia, these guitars are considered rare, some visible on special music stores, uncommon in general ones. Relatively alien to the public.
3. Artisan Workshop
Guitar craftsman are nearly always at a small scale and bear a family bond. Amongst some of the most popular are Hermann Hauser III (currently supported by his daughter – Kathrin Hauser), Romanillos (Jose and Liam Romanillos), Greg Smallman (along with children : Damon and Kym), Ignatio Fleta (along with Francisco and Gabriel Fleta), Jeffrey Elliott (supported by Cyndy Burton), Teodoro Perez (Teodoro and Sergio), etc. Guitars produced will bear the individual’s name, not a commerce brand.
At this level, quality comes first. These luthier families control each and every process in the making, starting from searching the best woods, drying them for decades before, to paying attention to the smallest details (determining the thickness of every layer, resonance, bracing, etc.). Guitars are fully handcrafted, have a ‘special recipe’ touch of every family and produces consistent, high-quality sound.
However, output becomes limited (up to only 8-12 guitars per year), as so much effort and attention are put on production quality.
This causes prices to rocket, compared to the previously-stated methods, thus becomes hunted by guitar professionals, collectors and enthusiasts. These kinds are also beyond reach in Indonesian guitar stores.
High demand unbalanced by small supply creates a painfully long waiting list, reaching up to 10 years and above.
4. Individual Artisan
We’ve reached the highest level in the art of guitar craftsmanship, where a luthier dedicates his whole life to work single-handedly, having 100% control in crafting each and every instrument. Epically exclusive, bearing names like Daniel Friederich, Andrea Tacchi (who has visited Indonesia), Joshia de Jonge, Jean-Noel Rohe, Edmund Blochinger, Gernot Wagner, Matthiass Dammann, Dominique Field, Tobias Berg, Michel Bruck, Sebastian Stenzel, Eric Sahlin, etc.
At this stage, luthiers focus unanimously on quality, caring least about production output. Some luthiers would even recreate a guitar from scratch if the end result doesn’t satisfy him/her. Out of freedom, creativity and revolutionary ideas often emerge, such as the use of kevlar, Nomex, carbon fibre, other aerospace materials, along with revolutionary construction methods, such as the Double Top (by Gernot Wagner and Matthiass Dammann) – the inclusion of Nomex (an aerospace material) in construction. Andrea Tacchi combines spruce and cedar in creating the soundboard. Greg Smallman invents the Lattice System by assimilating balsa wood and carbon fibre. Many others follow.
Luthiers at this level are obsessed in pursuing quality, hence producing guitars with top quality and consistency, following the revolutionary ideas and soul well-kept inside the masters’ mind.
Production capacity further declines to 5-8 guitars each year. When in poor body condition, it may further decrease to only 1-2 guitars (Daniel Friedrich could only produce 2 guitars every year before pension).
Waiting list well reaches above 10 years, tagged with an exorbitant price. Guitars at level 3 and 4 may as well be an investment. The older the wood becomes, wood quality increases along with sound quality, further increasing the price as well (if kept in good condition).
In Indonesia, these guitars are extremely rare, kept in the hands of collectors at a very small amount. It is unavailable on the public market and won’t land on some random hands.
4 Kategori Gitar Berdasarkan Kualitas Dan Sistem Produksi
Mengapa di Indonesia seluruh gitar yang kita lihat di toko-toko musik berharga murah?
Lalu mengapa ada gitar yang berharga super mahal? Dimana sih letak bedanya?
Ada anggapan keliru dari kebanyakan orang Indonesia yang mengatakan bahwa gitar itu semua sama saja. Sebelum kita bicara soal sound, craftmanship, playability, dan berbagai hal-hal teknis ; mari kita mulai dari hal yang paling mendasar yaitu bagaimana sistem produksi gitar. Gitar-gitar seperti apa yang selama ini kita lihat di toko-toko musik di Indonesia?
Berikut penjelasannya :
Dalam dunia pembuatan gitar, terdapat 4 ‘kategori / level’. Berikut saya urutkan dari yang paling rendah hingga yang tertinggi :
1. Factory / pabrikan : (Yamaha, Cort, etc)
Pada level ini, produksi gitar melibatkan sangat banyak orang dan melibatkan sistem perakitan – seperti mainan Lego. Ada grup yang mengerjakan top. Ada grup yang khusus mengerjakan body. Ada grup bagian neck – leher gitar dsb. Lalu kemudian semuanya dirakit.
Untuk menekan harga jual, material yang digunakan seringkali bukan kayu, tetapi triplek dan diberi tempelan agar nampak seperti kayu. Triplek merupakan bahan yang sama sekali tidak cocok untuk sebuah gitar. Sifatnya mudah ditekuk, stiffness sangat rendah. Mengakibatkan bagian soundboard menjadi terlalu tebal dan sulit bergetar (inilah alasan gitar triplek selalu bersuara kecil / tidak keluar).
Sistem produksi seperti ini berfokus pada efisiensi dan kecepatan produksi secara massal, banyak melibatkan mesin, dan produksi bisa mencapai ratusan unit gitar per bulan. Quantity oriented dan bukan quality oriented. Pada tahap ini pula, gitar dipasarkan secara ready stock. Tidak perlu menunggu lama, gitar bisa langsung didapatkan di toko2 musik. Apabila stock sedang kosong, biasa hanya dibutuhkan waktu beberapa minggu untuk re-stock. Sangat cepat karena daya produksi yang sangat tinggi. Harganya paling terjangkau dan kualitasnya cukup baik untuk siswa yang baru sekedar coba-coba belajar gitar.
Di toko-toko musik di Indonesia, sayangnya kita hanya dapat menjumpai gitar level ini. Level yang paling rendah. Tidak heran akhirnya orang-orang beranggapan bahwa gitar merupakan instrumen musik kelas rendah, berharga murah, mudah dibuat, dsb dsb.
Benarkah demikian?
2. Production Workshop : (Hill guitar company, Ramirez, Bernabe – pada seri student, Contreras, Marin Montero, Sakurai Kohno, Matsuoka, Antonio Picado, Amalio Burguet, Loriente, Alhambra, Asturias, Yamaha – Grand Concert series, etc)
Pada level ini, terdapat suatu grup kecil kumpulan pengerajin gitar yang terlatih.Setiap orang memiliki tugas yang sangat spesifik. Ada yang spesialis bagian varnish. Ada yang spesialis bagian membuat soundbox. Dsb dsbKarena merupakan kumpulan pekerja, terkadang bisa terjadi bongkar pasang personel seperti tim sepakbola(ada pengerajin yang pindah ke workshop lain), namun gitar hasil produksi mereka akan tetap menyandang satu nama sesuai nama workshop tempat mereka bekerja.Sistem ini bisa menghasilkan 15 – 20 gitar per bulan. Apabila workshop tertentu sedang laris-larisnya, bisa terjadi waiting list pendek beberapa bulan. Apabila permintaan makin melimpah, biasanya workshop akan menambah jumlah pekerja untuk mempercepat produksi (outsourcing). Sistem ini terkadang (tidak selalu) membuat kualitas tidak konsisten karena dikerjakan dengan sistem ‘keroyokan’ oleh orang yang berbeda-beda.
Kualitas yang dihasilkan, secara umum hampir pasti berada di atas kategori 1. Pada level ini, gitar sudah dibuat menggunakan kayu asli (bukan triplek) – minimal pada bagian soundboard yang merupakan bagian terpenting.
Di Indonesia, gitar-gitar level ini bisa dijumpai pada kalangan terbatas. Ada toko musik yang spesialis menjual gitar pada level ini. Namun sangat jarang dijumpai di toko musik umum. Publik sudah sangat jarang menjumpai gitar pada level ini.
3. Artisan Workshop :
Kumpulan pengrajin gitar dalam jumlah sangat kecil dan hampir selalu saling memiliki hubungan keluarga. Beberapa contoh yang paling populer dan memiliki reputasi kelas dunia adalah Hermann Hauser III (saat ini dibantu oleh anak perempuannya – Kathrin Hauser), Romanillos (Jose dan Liam Romanillos), Greg Smallman (beserta anaknya Damon dan Kym), Ignacio Fleta (beserta Francisco dan Gabriel Fleta), Jeffrey Elliott (dibantu oleh Cyndy Burton), Teodoro Perez (Teodoro dan Sergio), etc.
Gitar yang mereka produksi akan menyandang nama individu si pembuat gitar (bukan nama merk dagang).
Pada level ini kualitas menjadi prioritas utama. Grup keluarga luthier ini akan mengontrol setiap tahap dalam proses produksi mereka mulai dari mencari kayu sendiri, mengatur proses pengeringan kayu selama belasan hingga puluahan tahun sebelum diolah menjadi gitar, memperhatikan detail-detail terkecil dalam setiap tahapan (menentukan perbedaan ketipisan kayu di setiap bagian, pengaturan resonansi, perbedaan ketinggian tiap bracing, etc). Gitar dikerjakan secara full handmade dan diolah dengan ‘resep’ rahasia yang menjadi ciri khas masing-masing keluarga tersebut. Gitar memiliki karakter suara yang sangat khas (signature sound) dan kualitas yang sangat konsisten dari setiap gitar.
Pada level ini output produksi menjadi lebih kecil (hanya sekitar 8 – 12 gitar PER TAHUN) karena berfokus pada detail dan kualitas yang sangat tinggi.
Kualitas yang sangat tinggi, plus produksi yang sedikit, secara otomatis membuat harga gitar pada level ini menjadi mahal. Kualitas tinggi juga membuat gitar pada level ini menjadi buruan para pemain gitar professional, kolektor, dan pecinta gitar. Gitar pada level ini hampir tidak dapat ditemukan di Indonesia (apalagi di toko musik).
Permintaan yang melimpah dan produksi yang kecil membuat waiting list yang sangat panjang, terkadang bahkan mencapai belasan tahun.
4. Individual Artisan :
Merupakan level tertinggi dalam seni pembuatan gitar dimana sang luthier mencurahkan seluruh hidupnya untuk bekerja seorang diri, memiliki kontrol 100% untuk memproduksi satu demi satu instrument gitar berkualitas super tinggi. Sangat eksklusif. Contoh : Daniel Friederich, Andrea Tacchi (beliau pernah berkunjung ke Indonesia), Joshia de Jonge, Jean-Noel Rohe, Edmund Blochinger, Gernot Wagner, Matthiass Dammann, Dominique Field, Tobias Berg, Michel Bruck, Sebastian Stenzel, Eric Sahlin, etc.
Pada tahap ini, sang luthier secara total berfokus 100% pada kualitas tanpa memperdulikan output produksi sama sekali. Beberapa luthier bahkan rela membuat ulang gitar dari awal apabila ia merasa kurang puas pada hasil akhir gitarnya. Karena bebas menuangkan ide apapun dalam gitar buatannya, seringkali muncul ide-ide revolusioner seperti penggunaan kevlar, Nomex, Carbon fibre, dan bahan aerospace lain pada konstruksi gitar. Gaya konstruksi revolusioner juga diciptakan para luthier pada level ini. Gernot Wagner dan Matthias Dammann menciptakan konstruksi Double Top yang memasukkan bahan aerospace – NOMEX pada konstruksi gitarnya. Andrea Tacchi menggabungkan kayu spruce dan cedar pada soundboard. Greg Smallman menciptakan Lattice system yang menggabungkan kayu balsa dan carbon fibre. Dan masih banyak contoh lainnya.
Para luthier di level ini, sangat obsesif mengejar kualitas setinggi mungkin. Kualitas menjadi sangat konsisten dan perlahan-lahan gaya konstruksi setiap luthier akan berevolusi sesuai jiwa dan ide konstruksi yang ada di benak sang luthier.
Kapasitas produksi luthier pada level ini sangat kecil. Rata-rata seorang luthier hanya menghasilkan 5 – 8 gitar per tahun. Ketika dalam kondisi tidak fit, produksi seorang luthier bisa menurun hingga hanya menghasilkan 1 atau 2 gitar per tahun (Daniel Friederich sebelum pensiun pada usia 83 tahun hanya mampu menghasilkan 2 gitar per tahun).
Waiting list luthier-luthier pada level ini bisa mencapai belasan tahun dengan harga yang sangat tinggi. Gitar pada level 3 dan 4 juga seringkali menjadi produk yang bernilai investasi. Semakin tua, kualitas kayu akan semakin bagus, kualitas sound juga semakin bagus. Harga juga akan semakin tinggi (apabila gitar dalam kondisi baik dan terawat)
Di Indonesia, gitar kelas atas pada level 3 dan level 4 hanya bisa dijumpai di tangan para kolektor dengan jumlah yang sangat kecil. Tidak ‘available’ di pasaran. Dan tidak dapat dilihat atau dipegang sembarang orang.